Beranda | Artikel
Masbûq Pada Shalat Gerhana
Senin, 12 Desember 2022

MASBUQ PADA SHALAT GERHANA

Gerhana matahari dan bulan merupakan salah satu tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla yang ditampakkan kepada manusia agar mereka takut kepada sang penciptanya. Bukan sekedar gejala dan fenomena alam, seperti anggapan banyak orang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla . Tidak terjadi gerhana karena kematian atau kehidupan seorang. Tetapi karena Allâh Azza wa Jalla menjadikannya untuk menakuti para hamba-Nya. [HR. Al-Bukhâri, no. 12048].

Tujuan diadakan gerhana adalah untuk memberikan rasa takut kepada manusia agar mereka semakin dekat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan beribadah dan berdoa kepada-Nya. Lihatlah petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam sabda Beliau:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا، فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla . Tidak terjadi gerhana karena kematian atau kehidupan seorang. Apabila kalian melihat gerhana maka berdoalah kepada Allâh dan shalatlah hingga hilang gerhana tersebut. [HR. Al-Bukhâri, no. 1060]

Demikianlah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukan shalat gerhana secara berjamaah di masjid sampai gerhananya hilang. Ini diikuti kaum Muslimin hingga saat ini. Namun terkadang seseorang yang ingin mengikuti shalat gerhana (Kusûf) ini di masjid mengalami keterlambatan karena sebab-sebab tertentu, misalnya dia terlambat mendengar informasi atau terlambat melihat peristiwa ini. Akibatnya, dia masbûq (tertinggal) dari imam dalam shalat gerhana. Lalu apa yang harus dia lakukan?

Tata Cara Shalat Masbuq Dalam Shalat Gerhana
Tata cara masbûq dalam shalat gerhana tergantung pada perbedaan pendapat Ulama tentang tata cara shalat gerhana. Para Ulama berbeda pendapat tentang tata cara shalat gerhana dalam dua pendapat:

1. Shalat gerhana dilakukan dalam dua rakaat sebagaimana tata cara shalat sunnah yang dua rakaat, shalat Shubuh, shalat Jum’at dan shalat dua rekaat lainnya. Satu rakaat satu ruku’. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanîfah. [1]

Berdasarkan ini, maka hukum masbûq menurut mereka sama dengan hukum masbûq dalam shalat fardhu dan lain-lainnya.

2. Shalat gerhana dilakukan dalam dua rakaat dan setiap rakaat ada dua ruku’ atau tiga ruku’. Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, diantara mereka madzhab Mâlikiyah[2], asy-Syafi’iyah [3] dan al-Hanâbilah.[4]

Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ، فَقَامَ، فَأَطَالَ القِيَامَ، ثُمَّ رَكَعَ، فَأَطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ القِيَامَ وَهُوَ دُونَ القِيَامِ الأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ، ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ، ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الأُولَى، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتِ الشَّمْسُ، فَخَطَبَ النَّاسَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ، فَادْعُوا اللَّهَ، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا»

Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan memanjangkan (melamakan) berdirinya kemudian ruku’ dan memperpanjang ruku’nya kemudian berdiri (lagi) dan memanjangkan berdirinya namun tidak sepanjang berdiri Beliau yang pertama kemudian ruku’ dan memperpanjang ruku’nya namun tidak sepanjng ruku’ Beliau yang pertama, kemudian sujud dan memanjangkan sujudnya kemudian berbuat di rakaat kedua seperti yang diperbuat pada rakaat pertama kemudian selesai sementara gerhana telah berlalu. Setelah itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan memuja dan memuji Allâh kemudian berkata, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla , tidak terjadi gerhana karena kematian seorang atau hidupnya seorang. Apabila kalian melihat gerhana tersebut maka berdoalah kepada Allâh Azza wa Jalla , bertakbir, shalat dan bersedekahlah. [HR. Al-Bukhâri]

Juga dalam hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

كُسِفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ ذَلِكَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ إِبْرَاهِيمُ بْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّاسُ: إِنَّمَا كُسِفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ ابْنِهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ  فَقَامَ النَّبِيُّ   صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ سِتَّ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ

Terjadi gerhana matahari di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu bertepatan dengan kematian Ibrâhim putra Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu orang-orang berkata, “Gerhana ini terjadi karena disebabkan kematian Ibrâhim putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu Nabi n berdiri dan mengimami orang-orang shalat dalam enam ruku’ pada empat sujud. [HR Abu Dâwûd no. 1178 dan dishahihkan al-Albâni].

Inilah pendapat yang shahih. WAllâhu ‘alam.

Masbuq Tertinggal Raka’at Pertama
Para Ulama tidak berbeda pendapat tentang masbûq dalam shalat gerhana yang ketinggalan satu rakaat penuh, maka ia mengqadha’nya sesuai tata cara pelaksanaan rakaatnya yang tertinggal.[5]

Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا” وفِي رِوَايَةٍ  “فَاقْضُوا”.

Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah! (HR. Al-Bukhâri, no 636) dalam sebuah riwayat : maka Qadha’lah!

Masbuq Mendapati Imam Pada Ruku’ Kedua Dalam Raka’at Pertama
Para Ulama yang merajihkan pendapat shalat gerhana dengan empat ruku’ atau enam ruku’ dalam dua rakaat dan mereka berselisih pendapat tentang masbûq yang tertinggal ruku’ pertama dan mendapati imam ruku’ yang kedua dalam rakaat pertama dalam dua pendapat:

1. Orang yang mendapatkan ruku’ kedua dalam rakaat pertama, maka rakaat pertamanya tidak dihitung sehingga dianggap kehilangan satu rakaat. Inilah pendapat madzhab asy-Syafi’iyah [6]. Pendapat ini berdalil dangan dalil berikut:

  • Perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat dengan satu ruku’ seperti yang difahami dari hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu yang berisi :

فَصَلَّى، فَقَامَ بِنَا كَأَطْوَلِ مَا قَامَ بِنَا فِي صَلَاةٍ قَطُّ، لَا نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا ثُمَّ رَكَعَ بِنَا كَأَطْوَلِ مَا رَكَعَ بِنَا فِي صَلَاةٍ قَطُّ، لَا نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا، ثُمَّ سَجَدَ

Lalu Beliau shalat dan berdiri mengimami kami seperti berdirinya kami shalat terlama tanpa kami dengar suara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau ruku’ seperti ruku’ kami dalam shalat terpanjang tanpa kami mendengar suara Beliau kemudian sujud. [HR Abu Dâwûd 1/308 no. 1184 dan an-Nasâ’i 3/140 dan ibnu Mâjah 1/402 dan dilemahkan al-Albâni dalam dha’îf Sunan at-Tirmidzi dan dha’îf sunan ibnu Mâjah].

Hadits ini menunjukkan bolehnya mencukupkan shalat gerhana dengan satu ruku’ dalam satu rakaat. Ini juga menunjukkan bahwa ruku’ pertama adalah wajib sedangkan ruku’ kedua serta ketiga hanyalah sunnah, sehingga rakaat tidak dihitung jika tertinggal ruku’ wajib yaitu ruku’ pertama, meskipun mendapatkan ruku’ kedua. [7]

Namun argumentasi ini dibantah dari tiga hal:

  1. Haditsnya di atas lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni t dalam Irwa’ al-Ghalil, 3/130. Hadits-hadits tentang satu ruku’ lemah tidak ada satupun yang shahih, adakalanya karena ada illah atau syadz.

Sedangkan Imam ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Diantara tata cara shalat gerhana adalah seperti shalat yang kamu lakukan, setiap rakaat satu ruku’. Namun para imam yang besar seperti imam Ahmad, al-Bukhâri, dan asy-Syâfi’i rahimahumullah tidak menshahihkannya dan memandangnya sebagai sebuah kesalahan.[8]

  1. Seandainya hadits dihukumi shahih, maka hadits tentang dua ruku’ lebih banyak dan lebih shahih.[9]
  2. Dalam hadits ini tidak ada penunjukan yang jelas yang menyatakan bahwa ruku’ yang pertama hukumnya wajib dan tidak adanya hitungan dengan ruku’ kedua pada masbûq. Bisa jadi hadits ini mencukupkan hanya dengan satu ruku’ untuk menunjukkan bahwa masbûq menghitung rakaat dengan ruku’ mana saja yang didapatinya. Cukup dengan satu ruku’ saja untuk dianggap dapatkan satu rakaat.[10]

Bantahan ini masih bisa dijawab, dengan menyatakan bahwa satu ruku’ adalah hal terkecil dari yang disyariatkan, sedangkan selebihnya baik ruku’ kedua atau setelahnya menjadi sunnah sehingga tidak dianggap dalam menentukan rakaat.

  • Ruku’ pertama adalah induk sedangkan ruku’ kedua hukumnya ikut kepada ruku’ pertama, karena dilakukan setelahnya sehingga tidak dianggap dalam penentuan hitungan rakaat. Ini seperti i’tidal (bangun) dari ruku’ dalam shalat-shalat lainnya.[11]

Namun alasan ini terbantah dengan menyatakan bahwa ini merupakan qiyâs (menganalogikan dua hal padahal ada beda atau disebut dengan qiyâs ma’al fâriq), sebab tidak ada ruku’ kedua dalam satu rakaat pada shalat-shalat lain selain shalat gerhana. Adapun shalat gerhana, setelah ruku’ pertama, ada ruku’ yang lain sehingga ruku’ yang kedua bisa dianggap sama dengan hukum ruku’ pertama dalam penentuan rakaat. Jika ruku’ kedua  sama hukumnya dengan ruku’pertama, maka dengan mendapatkan ruku’ kedua bersama imam berarti yang masbûq terhitung mendapatkan reka’at.

  • Masbûq yang ketinggalan ruku’ pertama berarti telah kehilangan satu ruku’ dalam satu rakaat sehingga tidak dianggap mendapatkan satu rakaat. Ini sama dengan orang yang ketinggalan ruku’ dalam shalat-shalat lainnya. [12]

Alasan ini pun terbantah dengan alasan bahwa ini merupakan qiyâs dengan disertai perbedaan. Sebab shalat gerhana dalam satu rakaat ada lebih dari satu ruku’ sehingga ruku’ kedua sama kedudukannya dengan ruku’ pertama. Berbeda dengan shalat-shalat yang lainnya.

2. Terhitung mendapatkan satu rakaat dengan mendapatkan ruku’ kedua atau ketiga bersama imam. Inilah madzhab Mâlikiyah[13] dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah.[14]

Pendapat ini beralasan dengan alasan berikut :

  • Dua ruku’ dalam shalat gerhana seperti satu ruku’. Orang yang mendapatkan sebagian ruku’ dianggap mendapatkan rakaat secara ijma’.[15]

Ruku’ kedua merupakan bagian dari ruku’ pada raka’at pertama dan telah ada kesepakatan bahwa orang yang mendapatkan sebagian dari ruku’ bersama imam mendapatkan satu rakaat.

Namun alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa ruku’pada selain shalat gerhana itu bersambung, berada pada satu tempat dan satu hukum. Sedangkan ruku’-ruku’ dalam shalat gerhana terpisah yang tentunya juga hukumnya berbeda. Sehingga tidak bisa dianalogikan dengan ruku’ dalam shalat selain gerhana.

  • Diperbolehkan seorang shalat kusûf dengan satu ruku’ dalam setiap rakaatnya, sehingga masbûq yang tertinggal ruku’ pertama sudah sah dengan ruku’ yang kedua bersama imam.[16]

Alasan ini tidak bisa diterima karena kebolehan shalat dengan satu ruku’ dalam satu rakaat dasarnya adalah hadits-hadits yang lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan. Seandainyapun diperbolehkan shalat dengan cara demikian, juga tidak dapat dijadikan alasan sahnya masbûq dengan hanya mendapatkan satu ruku’ saja. Bahkan bisa jadi menunjukkan ruku’ yang pertama adalah rukun yang harus dilaksanakan dan ruku’ kedua bukan rukun sehingga masbûq yang mendapatkan ruku’ kedua pada rakaat pertama bersama imam tidak dihukumi mendapatkan rakaat pertama.

  • Ruku’ kedua adalah rukun karena berada ditengah-tengah antara bacaan al-Qur`an dengan sujud, berbeda dengan ruku’ yang pertama karena berada diantara bacaan pertama dan kedua sehingga hukumnya sama dengan hukum bacaan tersebut. [17]

Alasan ini mungkin dijawab bahwa ruku’ yang pertama lebih pas dihukumi rukun karena ia adalah ruku’ pertama setelah takbiratul ihram sedangkan ruku’ kedua dilakukan jauh setelahnya, sehingga tidak boleh menjadikan yang terakhir lebih kuat dari yang lebih dahulu.

Pendapat yang Rajih
Setelah melihat pendapat para Ulama dan alasan mereka dalam masalah ini, tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang berpendapat harus mendapati ruku’ pertama bersama imam agar mendapatkan rakaat pertama. Inilah yang dirajihkan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn dalam asy-Syarhul al-Mumtî’ 5/260 dan fatwa dari Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-Ilmiyah wal Ifta` dalam fatwa  no. 8732 yang adalah dalam kitab fatawa lajnah 8/323 ketika menjawab pertanyaan:

Apakah benar ruku’ kedua dari shalat gerhana hukumnya sunnah tidak dianggap dapat rakaat bagi masbûq yang tidak mendapatinya, dimana masbûq melaksanakan ruku’ pertamanya dengan rakaat yang sempurna dengan dua ruku’ setelah imam salam? Ataukah ruku’ kedua tersebut menduduki kedudukan ruku’ pertama?

Mereka menjawab:
Yang benar, orang yang ketinggalan ruku’ pertama dari shalat gerhana tidak dianggap mendapatkan rakaat dan wajib baginya mengqadha` posisinya dengan satu rakaat lain dengan dua ruku’, karena shalat gerhana adalah ibadah dan ibadah harus berdasarkan dalil syariat sehingga mencukupkan dalam hal ini pada tata cara yang benar yang ada dalam hadits-hadits yang shahih.

Wabillahittaufiq.

Berdasarkan hal ini seorang masbûq yang ketinggalan ruku’ pertama dari shalat gerhana harus mengulangi satu rakaat penuh dengan dua ruku’ setelah imam selesai salam dari shalatnya.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Badâ’i ash-Shanâ`i’ 1/280, al-Bahru ar-Râ`iq 2/291 dan I’lâmu as-Sunan 8/161
[2] Lihat al-Mudawanah 1/164, adz-Dzakhîrah 2/429 dan Mawâhib al-Jalîl 2/201
[3] Lihat Nihâyatul Muhtâj, 2/403
[4] Lihat al-Mubdi’ 2/196 dan Kasyâf al-Qinâ’ 3/425
[5] Lihat al-Majmu’, 5/61
[6] Al-Majmu’ 5/61 dan Mughnil Muhtaaj, 1/319 dan Hanabilah (al-mughni 3/332 dan al-Mubdi’ 2/199)
[7] Lihat Syarh az-Zarkasyi, 2/259 dan Kasyâf al-Qinâ’, 3/431 serta Manârus Sabîl, 1/209
[8] Zâd al-Ma’âd Fi hadyi Khairil ‘Ibâd 1/453
[9] Lihat al-Majmu’ 5/65
[10] Lihat al-Mughni 3/332
[11] Lihat Fathul Aziz, 5/79 dan al-Majmu’, 5/61
[12] Lihat al-Mughni 3/332
[13] Al-Mudawwanah, 1/164 dan adz-Dzakhirah, 2/430
[14] Lihat al-Mughni 3/332
[15] Lihat adz-Dzakhîrah 2/430
[16] Lihat al-Mughni 3/332
[17] Adz-Dzakhîrah, 2/430


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/67825-masbuq-pada-shalat-gerhana.html